MB (Moco Buku)
Slilit Sang Kyai
Buku ini sudah
lama “nangkring” di rak buku bapak di rumah, entahlah mungkin sudah
bertahun-tahun karena sedikit berdebu. Berkali-kali buku dengan sampul hitam
ini selalu menggoda, melambai-lambaikan covernya yang sedikit lain dari
sederetan buku-buku yang ada di rak agar diambil dan dibaca. Tapi, berkali-kali
pula aku hanya datang menghampiri, menengok sebentar keadaannya, tanpa sedikit
pun melihat isinya. Rasa tertarikku baru sebatas pada judul dan penulis dari
buku itu yang sedikit agak nyeleneh “Slilit Sang Kyai” buah tangan dari seorang
sastrawan, pemikir, budayawan Indonesia “Cak Nun” alias Emha Ainun Nadjib.
Namun lebaran 1433 H kemarin, setelah kesekian kali tangan ini meraih buku itu,
hasrat untuk membacanya semakin kuat dan tak dapat dihindari.
Sungguh,
“Slilit” yang diketengahkan oleh Cak Nun ini bukanlah isi keseluruhan dari buku
itu, melainkan beberapa kumpulan tulisan kolom di beberapa surat kabar yang kemudian dibukukan.
Pemilihan “Slilit Sang Kyai” menjadi judul dari buku tak lain tak bukan karena
kenyentrikan tulisan tersebut bila dibanding di antara judul lain dalam buku
itu. Dan karena nilai unik dan daya jual bila memakainya. Maka tak heran jika
buku itu laris manis bak kacang goreng hingga cetak ulang berkali-kali. Buku
yang ku baca ini saja merupakan cetakan yang kesekian.
Beberapa kolom
yang ditulis oleh Cak Nun dalam buku itu mengkritisi kondisi sosial budaya
masyarakat Indonesia, meskipun ditulis sekitar tahun 1980-an tulisan-tulisannya
masih up to date dengan kondisi Indonesia di tahun 2000-an karena
kondisi masyarakat tak banyak berubah. Sebagaimana telaahnya atas demokrasi Indonesia, “Kita katanya negara demokrasi yang
menjunjung tinggi asas perbedaan sebagaimana negara Indonesia ini dibangun atas segala
perbedaan, suku, etnis, bahasa, dan segala perbedaan lainnya. Tetapi, akhirnya
kita mengalami kemunduran demokrasi, kotak-kotak demokrasi semakin terlihat
jelas dan semakin tinggi sehingga antar satu sama lain adanya kecurigaan
semata, sekat-sekat semakin tertanam dalam kehidupan berdemokrasi. Padahal,
demokrasi seharusnya menjadikan sekat perbedaan itu hidup berdampingan dengan
penuh kedewasaan. Sebagaimana siklus kehidupan manusia, dari anak kecil yang
tak tahu apa-apa, menjadi remaja, dewasa, dan kembali lagi tua yang lupa akan
segala yang telah kita tahu.”
Lalu, sindiran
Cak Nun dengan nyiyirnya membuat kita tertohok dengan tajam “Kita tidak begitu
saja ‘menagih’ janji Allah Swt. kalau kita sendiri belum membayar
kewajiban-kewajiban kemakhlukan kita kepada-Nya.” Selama ini, kita hanya
menuntut hak-hak kita sebagai makhluk agar selalu diperhatikan oleh Tuhan,
terhindar dari masalah, setiap doa dikabulkan, tetapi melupakan dan pura-pura
alpa dengan kewajiban yang seharusnya kita kerjakan sebagai makhluk. Meskipun
sebenarnya Allah Swt. tetap Maha Segalanya andai kata seluruh manusia ingkar
kepada-Nya.
Bagaimana
tuntunan “moral berdoa”?? Kita tidak hanya layak begitu saja meminta kepada
Tuhan tanpa sungguh-sungguh mematuhi kehendak-Nya terlebih dahulu, artinya
mematuhi perintah dan menjauhi segala larangan-Nya. Allah Swt. Maha Menepati
Janji, Jika Ia telah berjanji akan mengabulkan seluruh doa hamba-Nya maka tak
akan diingkari barang sekecil dzarrah pun balasannya, lalu mengapa kita
malah semakin menjauh dari amalan yang mendekatkan kita akan balasan dari janji
Allah Swt. tersebut, sungguh kita telah terlena dan dilenakan oleh kenikmatan
dunia yang selalu dibisikkan setan melalui lubang-lubang yang ada dalam tubuh
kita. Naudzubillah min dzalik.
Cak Nun juga
menulis tentang “kejantanan sosial”, mungkin gagasan ini merupakan sedikit sentilan
kepada para laki-laki yang tidak memiliki kemampuan “kejantanan” yang dipenuhi oleh
kejujuran, sportivitas, selalu berkaitan erat dengan kebenaran dan keadilan. Sehingga
bukanlah lelaki yang mendiskriminasi perempuan itu adalah jantan, tetapi ialah
yang benar-benar betina. Gerakan kejantanan tidak hanya merambah kepada
laki-laki saja, tetapi hingga wanita pun perlu memiliki sikap “kejantanan” itu.
Seorang pemimpin haruslah orang yang “jantan” tanpa memedulikan ia berkelamin
laki-laki atau wanita.
Pada bagian lain
dalam bukunya, Cak Nun menyoroti umat Islam yang sejak dulu terkelompok menjadi
3 kelompok besar. Pertama, yang dunianya hanya terbatas pada syariat ekslusif.
Kedua, kelompok yang mulai menerjemahkan nilai Islam ke dalam sistem dan
tatanan sosial, tetapi belum memiliki daya modifikasi yang kuat dalam
menerapkannya sehingga hanya menemukan cara mencuat yang cenderung radikal. Ketiga,
kelompok yang sudah mencobakan proses islamisasi terhadap watak lingkungan dan
ritme perubahan.
Terlalu lama
engkau berteriak, suaramu akan semakin habis dan serak serau hingga tak ada
sekecil pun suara yang terdengar. “Biarkan ia berteriak sesuka hatinya, toh
lama-lama juga akan bosan” seberapa lama dia kuat untuk terus berteriak??
Biarkan saja, toh kalau nggak mau dengerin tinggal sumpal telinga kita, gampang
tho?? Kata penguasa. Mereka yang teriak tetap akan kehilangan suaranya dan kita
tetap akan duduk di kursi ini, kursi yang kata kebanyakan orang “kursi panas”
tetapi membuat nyaman pantat kita.
Dalam kolomnya
yang lain, Cak Nun melihat fenomena kemajuan bangsa-bangsa karena tetap menjaga
peradaban dan budayanya dari pengaruh luar, “Jika benar bahwa bangsa-bangsa
memiliki bakat yang berbeda dan mereka mengembangkan peradabannya berdasarkan
bakatnya itu maka alangkah indahnya dunia ini. Jepang dengan bakat
mempertahankan tradisi tetap jaya meski fantastis dengan teknologi ciptaan
mereka.” Lalu, apa bakat Indonesia
agar peradabannya tetap jaya? Sebuah pertanyaan yang menggelitik dan harus
dirumuskan oleh kita bersama jawabannya.
Sekali lagi
“Slilit” yang kecil ternyata bisa membuat seorang kyai merasakan panasnya api
neraka, maka berhati-hatilah terhadap “slilit-slilit” lainnya!!! Melalui kolom
yang kata-kata dan daya imajinasi merupakan kekuatannya, terlihat bagaimana
kecerdasan Cak Nun dalam mengolah kata sehingga tak terkesan dakwah searah,
tetapi refleksi diri pribadi dan tidak ada rasa menggurui. (Jakarta, 10 September 2012)