Cari Blog Ini

Senin, 14 Januari 2013

Mengelola Keragaman Adalah Suatu Keniscayaan



         Sebuah sunnatullah bahwa manusia diciptakan oleh Allah Swt. dalam kondisi berbangsa-bangsa dan bersuku-suku untuk saling mengenal satu sama lain. Artinya, perbedaan sudah menjadi kodrat yang tidak bisa dipaksakan untuk menjadi sama. Adapun kita sebagai manusia, tugas yang diberikan adalah untuk mengenal satu sama lain, dalam arti untuk mengelola perbedaan itu. Jika perbedaan dipaksakan untuk "sama" maka akan timbul satu pihak sebagai superior dan pihak lain inferior yang akan berakhir dengan konflik. Saat perbedaan itu tidak dikelola dengan baik maka konflik terjadi. Penyebab utamanya adalah merasa paling benar sendiri dan orang lain yang tidak sama selalu dianggap salah. Bukankah kebenaran yang hakiki datang dari Tuhan sedangkan kebenaran dalam pandangan manusia hanyalah bersifat nisbi saja. Untuk itu, perlu sikap dan kemampuan untuk menahan "ego" agar tidak memaksakan apa yang kita yakini benar kepada orang lain.
            Sebagaimana halnya dengan peristiwa-peristiwa kekerasan dan konflik yang terjadi belakangan ini di Indonesia, seperti kasus jamaah Ahmadiyah, konflik Syiah di Sampang, kasus Gereja Yasmin Bogor. Banyak latar belakang yang berada dibalik peristiwa dan konflik tersebut, mulai dari agama, ras, suku, perebutan lahan, dan sebagainya. Dan, kecenderungan isu agama menjadi komoditi utama yang sangat mudah menyulut timbulnya konflik kekerasan. Padahal, kalau kita telusuri bahwa kita memiliki jaringan memori kolektif yang mempersatukan seluruh masyarakat nusantara. Ingatan bahwa kita saling terkait satu sama lain sebagai sebuah bangsa Indonesia akan mampu menangkal isu-isu perbedaan yang rentan menimbulkan konflik.
            Di sisi lain, agama apa pun itu tidak mengajarkan umatnya untuk melakukan kekerasan terhadap orang lain. Sebaliknya, agama mengajarkan cinta kasih dan damai kepada umatnya. Perbedaan hendaknya disikapi sebagai fitrah yang merupakan anugerah dari Tuhan. Jika hal itu disadari dan dipraktikkan oleh seluruh umat maka kedamaian di Indonesia akan terjaga. Kerikil-kerikil yang menghalangi jalan damai di Indonesia dapat tereliminir dengan sendirinya. Perlu untuk diingat kembali bahwa perbedaan harus dikelola dengan baik, dan itu merupakan keniscayaan sebagai tugas khalifah di muka bumi yang selalu mengadakan perbaikan bukan perusakan di muka bumi dengan dalih atas nama agama. Peran sebagai pengelola tidak saja dibebankan kepada pemerintah saja, tetapi kita sendiri sebagai individu yang merupakan bagian dari masyarakat. Masyarakat yang damai bukanlah angan-angan semu ketika perbedaan yang ada dikelola dengan baik dan menjadi aset negara dalam menghadapi segala tantangan.

Minggu, 09 September 2012

Everything is Possible


                
Tuhan menciptakan manusia tentu tidak sekadar begitu saja, manusia adalah ciptaan yang sangat sempurna. Dibekali dengan akal dan nafsu agar bisa seimbang mengelola bumi ini sebagai khalifahnya. Dengan akal, manusia diperintah tuhan agar berfikir dan merenungi hakikat penciptaannya di dunia ini. Dengan akal pula, manusia dapat mempelajari semua nama-nama yang telah diajarkan oleh Tuhan kepadanya, sebagaimana firman-Nya,

Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya. (QS. Al-Baqarah [2]:31)”
Ayat ini bukan berarti hanya khusus tertuju kepada nabi Adam As. saja, tetapi merujuk kepada seluruh anak cucu Adam. Oleh sebab itu, akal diberikan kepada manusia agar ia memanfaatkanya untuk mengetahui seluruh ciptaan Tuhan dan memanfaatkannya demi kemaslahatan bersama. Di sisi lain, manusia bukanlah malaikat yang terus tetap dalam kondisi beribadah kepada Tuhan atau pun setan yang terus menerus bermaksiat kepada Tuhan. Maka diberikanlah kepada manusia itu nafsu, nafsu di sini bukan berarti nafsu yang jelek saja karena pada dasarnya ada dua jenis nafsu. Pertama, nafsu yang selalu mengajak manusia untuk melakukan kejelekan/kejahatan yang disebut nafsu sayyi’ah. Kedua, nafsu yang selalu mengajak manusia untuk selalu melakukan kebaikan yang disebut nafsu khasanah. Sehingga manusia yang bisa mengendalikan nafsunya bisa lebih baik daripada malaikat dan apabila ia dikendalikan oleh nafsu sayyiah bahkan ia lebih rendah derajatnya daripada hewan. Dengan bekal akal dan nafsu, manusia sanggup menjadi khalifah di muka bumi ini dengan berbagai permasalahan yang selalu mucul dalam menghiasi kehidupan fana ini.

                Berkaitan dengan masalah, Tuhan pun menjadikan masalah sebagai ujian bagi manusia di dunia untuk melihat seberapa besar imannya kepada Tuhan. Dengan masalah tersebut akan tampak siapa saja yang berhasil dalam menghadapinya atau pun gagal. Karena sebagaimana kita ketahui bahwa dalam bentuk ujian apa pun pasti akan ada yang berhasil dan ada pula yang gagal dengan tingkatan yang berbeda-beda. Jika kita umpamakan masalah adalah sebuah ujian sekolah, tentu dalam setiap soal itu ada jawabannya, dan guru pun sudah mengajarkan kepada murid dalam rentan waktu tertentu sebelum masa ujian tiba. Jika murid mau belajar dan menerapkan jawaban yang tepat tentu jawaban akan benar demikian pula sebaliknya. Bahkan, guru yang mengajar pun akan memberikan soal-soal yang sesuai dengan kadar kemampuan muridnya. Ia tidak mungkin memberikan soal kelas 2 untuk muridnya yang masih kelas 1.

Itulah perumpamaan masalah dan ujian sekolah, masalah yang datang dari Tuhan itu bagaikan ujian. Tuhan tak kan mendatangkan masalah kepada hambanya kecuali hamba tersebut mempunyai kekuatan untuk menghadapinya karena Tuhan lebih tahu kadar hambanya. Tak ada yang tak mungkin di dunia ini selama kita masih percaya bahwa Tuhan bersama kita dalam segala hal. Ia akan membukakan jalan keluar terhadap permasalahan selama kita mau berusaha mencarinya. Everything is possible jika Tuhan menghendakinya, segala sesuatu yang tampaknya mustahil bagi kita tapi bagi-Nya tak ada yang mustahil. Tuhan berkata “Kun fayakun” yang artinya jadi maka jadilah. Oleh sebab itu, dalam menghadapi masalah sebagai bentuk dari ujian maka kita harus ikhtiar dengan kekuatan yang kita miliki dan tak lupa berdoa kepada Tuhan agar mempermudahnya serta pada akhirnya kita bertawakkal atas segala hasilnya kepada Tuhan, karena segala sesuatu dari-Nya pasti mengandung hikmah. Jangan pernah kita lupa bahwa everthing is possible jika kita mau berusaha dan Tuhan menghendaki. (Jakarta, 10 September 2012)

Slilit Sang Kyai


MB (Moco Buku)

Slilit Sang Kyai

Buku ini sudah lama “nangkring” di rak buku bapak di rumah, entahlah mungkin sudah bertahun-tahun karena sedikit berdebu. Berkali-kali buku dengan sampul hitam ini selalu menggoda, melambai-lambaikan covernya yang sedikit lain dari sederetan buku-buku yang ada di rak agar diambil dan dibaca. Tapi, berkali-kali pula aku hanya datang menghampiri, menengok sebentar keadaannya, tanpa sedikit pun melihat isinya. Rasa tertarikku baru sebatas pada judul dan penulis dari buku itu yang sedikit agak nyeleneh “Slilit Sang Kyai” buah tangan dari seorang sastrawan, pemikir, budayawan Indonesia “Cak Nun” alias Emha Ainun Nadjib. Namun lebaran 1433 H kemarin, setelah kesekian kali tangan ini meraih buku itu, hasrat untuk membacanya semakin kuat dan tak dapat dihindari.

Sungguh, “Slilit” yang diketengahkan oleh Cak Nun ini bukanlah isi keseluruhan dari buku itu, melainkan beberapa kumpulan tulisan kolom di beberapa surat kabar yang kemudian dibukukan. Pemilihan “Slilit Sang Kyai” menjadi judul dari buku tak lain tak bukan karena kenyentrikan tulisan tersebut bila dibanding di antara judul lain dalam buku itu. Dan karena nilai unik dan daya jual bila memakainya. Maka tak heran jika buku itu laris manis bak kacang goreng hingga cetak ulang berkali-kali. Buku yang ku baca ini saja merupakan cetakan yang kesekian.

Beberapa kolom yang ditulis oleh Cak Nun dalam buku itu mengkritisi kondisi sosial budaya masyarakat Indonesia, meskipun ditulis sekitar tahun 1980-an tulisan-tulisannya masih up to date dengan kondisi Indonesia di tahun 2000-an karena kondisi masyarakat tak banyak berubah. Sebagaimana telaahnya atas demokrasi Indonesia, “Kita katanya negara demokrasi yang menjunjung tinggi asas perbedaan sebagaimana negara Indonesia ini dibangun atas segala perbedaan, suku, etnis, bahasa, dan segala perbedaan lainnya. Tetapi, akhirnya kita mengalami kemunduran demokrasi, kotak-kotak demokrasi semakin terlihat jelas dan semakin tinggi sehingga antar satu sama lain adanya kecurigaan semata, sekat-sekat semakin tertanam dalam kehidupan berdemokrasi. Padahal, demokrasi seharusnya menjadikan sekat perbedaan itu hidup berdampingan dengan penuh kedewasaan. Sebagaimana siklus kehidupan manusia, dari anak kecil yang tak tahu apa-apa, menjadi remaja, dewasa, dan kembali lagi tua yang lupa akan segala yang telah kita tahu.”

Lalu, sindiran Cak Nun dengan nyiyirnya membuat kita tertohok dengan tajam “Kita tidak begitu saja ‘menagih’ janji Allah Swt. kalau kita sendiri belum membayar kewajiban-kewajiban kemakhlukan kita kepada-Nya.” Selama ini, kita hanya menuntut hak-hak kita sebagai makhluk agar selalu diperhatikan oleh Tuhan, terhindar dari masalah, setiap doa dikabulkan, tetapi melupakan dan pura-pura alpa dengan kewajiban yang seharusnya kita kerjakan sebagai makhluk. Meskipun sebenarnya Allah Swt. tetap Maha Segalanya andai kata seluruh manusia ingkar kepada-Nya.

Bagaimana tuntunan “moral berdoa”?? Kita tidak hanya layak begitu saja meminta kepada Tuhan tanpa sungguh-sungguh mematuhi kehendak-Nya terlebih dahulu, artinya mematuhi perintah dan menjauhi segala larangan-Nya. Allah Swt. Maha Menepati Janji, Jika Ia telah berjanji akan mengabulkan seluruh doa hamba-Nya maka tak akan diingkari barang sekecil dzarrah pun balasannya, lalu mengapa kita malah semakin menjauh dari amalan yang mendekatkan kita akan balasan dari janji Allah Swt. tersebut, sungguh kita telah terlena dan dilenakan oleh kenikmatan dunia yang selalu dibisikkan setan melalui lubang-lubang yang ada dalam tubuh kita. Naudzubillah min dzalik.

Cak Nun juga menulis tentang “kejantanan sosial”, mungkin gagasan ini merupakan sedikit sentilan kepada para laki-laki yang tidak memiliki kemampuan “kejantanan” yang dipenuhi oleh kejujuran, sportivitas, selalu berkaitan erat dengan kebenaran dan keadilan. Sehingga bukanlah lelaki yang mendiskriminasi perempuan itu adalah jantan, tetapi ialah yang benar-benar betina. Gerakan kejantanan tidak hanya merambah kepada laki-laki saja, tetapi hingga wanita pun perlu memiliki sikap “kejantanan” itu. Seorang pemimpin haruslah orang yang “jantan” tanpa memedulikan ia berkelamin laki-laki atau wanita.

Pada bagian lain dalam bukunya, Cak Nun menyoroti umat Islam yang sejak dulu terkelompok menjadi 3 kelompok besar. Pertama, yang dunianya hanya terbatas pada syariat ekslusif. Kedua, kelompok yang mulai menerjemahkan nilai Islam ke dalam sistem dan tatanan sosial, tetapi belum memiliki daya modifikasi yang kuat dalam menerapkannya sehingga hanya menemukan cara mencuat yang cenderung radikal. Ketiga, kelompok yang sudah mencobakan proses islamisasi terhadap watak lingkungan dan ritme perubahan.

Terlalu lama engkau berteriak, suaramu akan semakin habis dan serak serau hingga tak ada sekecil pun suara yang terdengar. “Biarkan ia berteriak sesuka hatinya, toh lama-lama juga akan bosan” seberapa lama dia kuat untuk terus berteriak?? Biarkan saja, toh kalau nggak mau dengerin tinggal sumpal telinga kita, gampang tho?? Kata penguasa. Mereka yang teriak tetap akan kehilangan suaranya dan kita tetap akan duduk di kursi ini, kursi yang kata kebanyakan orang “kursi panas” tetapi membuat nyaman pantat kita.

Dalam kolomnya yang lain, Cak Nun melihat fenomena kemajuan bangsa-bangsa karena tetap menjaga peradaban dan budayanya dari pengaruh luar, “Jika benar bahwa bangsa-bangsa memiliki bakat yang berbeda dan mereka mengembangkan peradabannya berdasarkan bakatnya itu maka alangkah indahnya dunia ini. Jepang dengan bakat mempertahankan tradisi tetap jaya meski fantastis dengan teknologi ciptaan mereka.” Lalu, apa bakat Indonesia agar peradabannya tetap jaya? Sebuah pertanyaan yang menggelitik dan harus dirumuskan oleh kita bersama jawabannya.

Sekali lagi “Slilit” yang kecil ternyata bisa membuat seorang kyai merasakan panasnya api neraka, maka berhati-hatilah terhadap “slilit-slilit” lainnya!!! Melalui kolom yang kata-kata dan daya imajinasi merupakan kekuatannya, terlihat bagaimana kecerdasan Cak Nun dalam mengolah kata sehingga tak terkesan dakwah searah, tetapi refleksi diri pribadi dan tidak ada rasa menggurui. (Jakarta, 10 September 2012) 

Minggu, 18 September 2011

Hadiah 17 Agustus 2011

Rabu, 17 Agustus 2011

Hari dan tanggal tersebut merupakan ulang tahun negeri ini yang ke 66, Indonesia merdeka dari penjajah. Tepat di hari itu pula menjadi kenangan yang cukup membanggakan bagiku. Di hari ulang tahun Indonesia, aku mendapat kado dari ANRI atas prestasiku sebagai juara 2 dalam lomba karya tulis kategori umum. Bagaimana tidak, itu adalah kali pertama diriku mengikuti lomba karya tulis dan Alhamdulillah bisa mendapat juara 2. Bertempat di RedTop Hotel Jakarta, penyerahan hadiah dan piagam berlangsung. Semoga prestasi ini dapat terus memacu diriku untuk terus berkarya bagi kemajuan diri sendiri dan bangsa Indonesia. Aminn

                                (Foto pemenang lomba karya tulis bersama kepala dan pejabat ANRI)

                             (Penyerahan piagam penghargaan oleh kepala ANRI Bpk. M. Asichin)
                                                                                                        
Petikan berita dari website ANRI.go.id

ANRI ANUGERAHKAN PENGHARGAAN ARSIPARIS TELADAN 2011

Tanggal : 17 August 2011

Rabu (17/8), Kepala Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), M. Asichin memberikan penghargaan Arsiparis Teladan kepada arsiparis berpretasi di tahun 2011. Acara ini diselenggarakan oleh Direktorat Akreditasi dan Profesi Kearsipan ANRI dengan harapan dapat memberikan daya tarik bagi sumber daya manusia yang berkarier di dunia kerja bidang kearsipan dan menjadi pendorong bagi para arsiparis untuk selalu meningkatkan pengetahuan, kemampuan, dan keterampilannya. Kegiatan ini diikuti oleh para arsiparis baik dari lembaga-lembaga kearsipan di tingkat provinsi ataupun unit-unit kearsipan di tingkat pusat seperti di Kementerian ataupun Lembaga Pemerintah Non Kementerian.
Rangkaian acara Arsiparis Teladan 2011 ini dimulai sejak tanggal 16 dan berakhir pada 19 Agustus 2011 bertempat di Hotel Red Top, Jakarta. Adapun dewan juri yang memberikan penilaian adalah para praktisi kearsipan nasional baik dari Instansi Pemerintah, BUMN, dan para Akademisi. Di samping itu, untuk meningkatkan objektivitas penilaian, panitia juga melibatkan tim pemantau yang berasal dari berbagai instansi pemerintah di tingkat pusat dan daerah. 
Suasana Ujian Presentasi Pemilihan Arsiparis TeladanFoto Bersama Kepala ANRI dengan 10 Arsiparis Teladan


Juara I Arsiparis Teladan 2011 adalah Septi Wuryani dengan total penilaian 84,69. Septi adalah arsiparis di Badan Arsip dan Perpustakaan Provinsi Jawa Tengah. Untuk dapat menjadi seorang arsiparis teladan, Septi melewati ujian tertulis dan ujian praktek yang terdiri dari presentasi dan wawancara. Selain memperoleh penghargaan dari Kepala ANRI, Septi juga berhak mendapatkan kesempatan untuk mengikuti studi banding ke Arsip Nasional Singapura (National Archive of Singapore). Juara ke II disandang oleh Achmad Fauzan dari Sekretariat Negara dengan total nilai 81,90 sedangkan juara ke III diperoleh Yuniarsi, S.Sos dengan total nilai 80,76.
Selain kegiatan Arsiparis Teladan 2011, Kepala ANRI juga memberikan penghargaan kepada para pemenang Lomba Karya Tulis (LKT) Bidang Kearsipan Tahun 2011. Adapun tema yang diangkat tahun ini adalah Peran Arsip dalam Pendidikan Karakter Bangsa dan Peran Arsip dalam Meningkatkan Nasionalisme Bangsa. Peserta LKT Bidang Kearsipan Tahun 2011 terbagi menjadi dua kategori yaitu pelajar (SMU sederajat) dan umum (Mahasiswa, Guru, Pegawai Negeri Sipil, TNI, Polri, dan Karyawan Swasta). Tujuan diadakannya lomba karya tulis ini adalah untuk meningkatkan peran masyarakat dalam mengembangkan dunia kearsipan nasional.
Adapun juara I untuk kategori Pelajar SMU/Sederajat adalah Nurhidayat, siswa SMK Negeri 50 Jakarta dengan judul tulisan Arsipku, Sejarah dan Hartaku. Juara ke II adalah Rendy Erianda, siswa SMA Harapan Mandiri Medan, dengan judul tulisan Membentuk Karakter Unggulan Melalui Budaya Mengarsipkan Dalam Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS) dan juara III Apriliyati Eka Subekti siswi SMA Negeri I Muntilan dengan judul tulisan Membentuk Generasi Peduli Arsip melalui Dinamisasi Kegiatan Pramuka di Sekolah sebagai Implementasi Pendidikan Karakter. Untuk kategori umum, juara I diberikan kepada Drs. I Ketut Artana S.Sos., seorang pustakawan dari Universitas Pendidikan Ganesha, Bali dengan judul tulisan Arsip, Masyarakat, dan Nasionalisme Bangsa. Juara ke II adalah Muhammad Saifullah Rohman, kandidat peneliti Pusat Kemasyarakatan dan Kebudayaan, LIPI, Jakarta, dengan judul tulisan Membangun Karakter Bangsa dan Menumbuhkan Semangat Nasionalisme Berbasis Arsip. Sedangkan Juara III diberikan kepada Jhon Rivelo Purba, mahasiswa Universitas Dharma Agung, Medan dengan judul tulisan Mencintai Arsip Demi Meningkatkan Nasionalisme Bangsa. (AGP)



Senin, 27 Juni 2011

Lagi-Lagi Indonesia “Anti Klimaks” di Final Indonesia Open 2011




                Pasti banyak masyarakat Indonesia sudah rindu akan kebangkitan tim bulu tangkis Indonesia. Sudah sekian tahun kita paceklik gelar di kompetisi-kompetisi bergengsi, mulai dari Thomas dan Uber Cup, Piala Sudirman, Indonesia Open, sebagainya. Entah mengapa??? Kita seolah kehilangan tongkat estafet dalam mempertahankan gelar-gelar prestisius di kancah perbulutangkisan. Kita ingat dulu bagaimana Susi Susanti, Alan Budi Kusuma, Joko Susanto, Mia Audina, Ricky dan Reksi menguasai hampir di seluruh sektor bulu tangkis, baik tunggal maupun ganda, tapi setelah mereka tampaknya tongkat tersebut hilang entah kemana. Kini hampir di semua sektor putra, putri, tunggal maupun ganda dikuasai oleh negeri tirai bambu. 


                Tengoklah kemaren di Indonesia Open 2011, sebagai tuan rumah kita memang terbilang sukses sebagai penyelenggara yang baik. Berbagai persiapan baik pra maupun saat kompetisi terlihat sangat matang sehingga semua negara perserta bisa mengikuti kompetisi dengan baik, meski ada catatan kecil tentang sarana dan prasarana yang tampak kurang maksimal, seperti ketika final ada serangga yang masuk ke lapangan dan karpet lapangan sempat terkelupas meski kedua masalah tersebut tidak mengganggu jalannya final.
                Hal yang mungkin sangat disayangkan adalah kita hanya bisa mengirim 2 utusan di final. Sebagai tuan rumah di negeri sendiri tentu ini bukan hasil yang didambakan, setidaknya kita bisa mengirim 3 utusan jikalau 2 ganda putra kita Markis & Hendra dan Bona & Ahsan berhasil menumbangkan lawan-lawannya. Melihat dua ganda putra ini selama perjalanan kompetisi menuju semifinal sebenarnya cukup meyakinkan untuk menjadi kampiun juara, namun sangat disayangkan penampilan mereka justru terasa “anti klimaks” dan sering melakukan kesalahan sendiri sehingga dengan mudah dikalahkan oleh lawan-lawan mereka, sehingga harapan untuk terjadinya Indonesian All Final di ganda putra pupus sudah.
                Pada putaran final pun demikian, ganda putri kita Vita Marissa dan Nadya Melati harus menelan kekalahan dari peringkat pertama dunia Wang Xiaoli/Yu 21-12 21-10. Padahal, sejak penyisihan Vita dan Nadya tampil cukup bagus dan besar harapan dapat membawa pulang gelar, tapi lagi-lagi penampilan mereka seolah “anti klimaks” di hadapan pemain Cina tersebut. Demikian pulan dengan ganda campuran Tontowi dan Liliyana kandas dari Zhang Nan/Zhao Yunlei 20-22 21-14 21-9. Asa sempat menaungi Indonesia saat set pertama dimenangkan oleh Tontowi dan Lilliyana, tapi lagi-lagi dewi fortuna berbalik arah menaungi pasangan Cina yang memenangi game.


                Bahkan penonton yang memadati Istora tak mampu membuat ciut nyali tim-tim lawan, mereka tak terpengaruh oleh dukungan ribuan suporter Indonesia. Para penonton yang melihat final Indonesia Open 2011 kemaren seolah melihat penampilan yang “anti klimaks” dari andalan-andalan tuan rumah. Memang dalam suatu pertandingan ada kalah dan menang, dan kita akui pula bahwa atlet-atlet bulu tangkis kita sudah mengerahkan segenap kemampuan mereka untuk mengalahkan lawan-lawannya. Kita berdoa semoga atlet-atlet bulu tangkis kita dapat segera berbenah dan mengobati rasa kangen masayarakat Indonesia akan gelar di bidang bulu tangkis. Semoga kita tidak menunggunya dalam waktu yang terlalu lama. Aminn... ^_^
                Jayalah Indonesia.. ;p

Selasa, 14 Juni 2011

Berani Bermimpi


Bermimpilah selama kamu masih bisa bermimpi, dan jangan pernah berhenti untuk terus bermimpi. Memiliki impian adalah hak dari semua orang dan itu akan menjadikan kehidupan yang kita jalani semakin indah. Ketika kita memiliki sebuah mimpi dan berusaha untuk mewujudkannya maka semesta akan mendukung kita dan akan terbukalah jalan untuk menuju ke sana. Segera langkahkan kaki saat ini juga untuk mewujudkan mimpi-mimpi itu, itulah titik awal dari sebuah proses terwujudnya mimpi menjadi kenyataan.
          
Segera dapatkan buku ini di toko buku terdekat!!!  Anda akan temukan motivasi - motivasi dahsyat agar segera mewujudkan mimpi-mimpi. Selamat membaca ^_^

Kamis, 14 April 2011

Belajar dari Si Sulung Eliana



Belajar Jadi Anak Sulung dari Eliana
Judul                     : Eliana
Penulis                 : Tere Liye
Penerbit              : Republika
Halaman              : 519      
                Adalah novel ke-4 dari serial anak mamak. Kembali kita disuguhi bacaan yang inspiratif dan menggugah semangat lewat dunia anak. Tak terbayangkan sebelumnya jika kita diajak berpetualang ke dalam dunia yang amat jauh dari kehidupan kita sehari-hari. Tak hanya dunia bermain saja yang diulas oleh Tere Liye, lewat Eliana ini, ia ingin menggambarkan bagaimana beratnya menjadi seorang anak sulung. Saat kita membacanya–terutama saat posisi kita sebagai anak sulung, maka kita akan menemukan sedikit banyak kesamaan dengan yang kita rasakan.
                Kali ini tak hanya Eliana yang diceritakan, tapi juga bagaimana kisah pertemuan antara mamak dan bapak saat pertama kali hingga akhirnya mereka menikah. Ada sebuah qoute menarik dalam bagian ini dan selalu saja saya ingat,
“Manusia mempunyai hari-hari istimewanya sendiri. Hari saat lahir ke dunia, mulai merangkak, berjalan, hingga hari saat bertemu dengan pasangan”.
Bertemu dengan pasangan????? Kapan yahh...aku bertemu sama pasanganku??hehehe...^_^
                Diceritakan pula bagaimana kisah heroik Eliana sang gadis pemberani dengan geng empat buntal-nya melawan orang kota yang mencoba merusak sungai kampung mereka. Meski mereka masih anak-anak, namun keberanian mereka dalam menghadapi para perusak alam patut kita teladani. Kembali lagi tentang Eliana sebagai anak sulung, ia sempat marah kepada mamak karena selalu diperlakukan berbeda dari adik-adiknya, disuruh inilah, itulah hingga ia kabur berhari-hari di rumah wak Yati. Padahal, setiap malam mamak selalu menengok dan menayakan kabar ke wak Yati tanpa sepengetahuan Eliana.
Petikan kata ini sangat menyentuh hati bahwa betapa sayang ibu terhadap kita,
“Jangan pernah membenci mamak kau, Eliana… Jangan pernah.. Karena jika kau tahu sedikit saja apa yang telah ia lakukan demi kau, Amelia, Pukat dan Burlian, maka yang kau tahu itu sejatinya bahkan belum sepersepuluh dari pengorbanan, rasa cinta, serta rasa sayangnya kepada kalian.”
                Memang, sebagai anak kita kadang tidak menyadarinya. Segeralah minta maaf sama ibu kita atas segala kesalahan yang mungkin telah menyakiti hati ibu.
                Membaca novel ini sangat menyenangkan meskipun cukup tebal. Namun, ada beberapa hal yang agak membingungkan. Saya kira ketika cerita pertemuan antara mamak dan bapak versi muda ada kesalahan ketik karena kata-kata dan kalimatnya sama persis, ternyata setelah membaca dengan jeli memang dibuat seperti itu...hehehe. Dan, ada beberapa kata yang salah ketik.
                Terlepas dari kekurangannya, novel ini wajib dibaca dan sungguh inspiratif.