Cari Blog Ini

Minggu, 09 September 2012

Slilit Sang Kyai


MB (Moco Buku)

Slilit Sang Kyai

Buku ini sudah lama “nangkring” di rak buku bapak di rumah, entahlah mungkin sudah bertahun-tahun karena sedikit berdebu. Berkali-kali buku dengan sampul hitam ini selalu menggoda, melambai-lambaikan covernya yang sedikit lain dari sederetan buku-buku yang ada di rak agar diambil dan dibaca. Tapi, berkali-kali pula aku hanya datang menghampiri, menengok sebentar keadaannya, tanpa sedikit pun melihat isinya. Rasa tertarikku baru sebatas pada judul dan penulis dari buku itu yang sedikit agak nyeleneh “Slilit Sang Kyai” buah tangan dari seorang sastrawan, pemikir, budayawan Indonesia “Cak Nun” alias Emha Ainun Nadjib. Namun lebaran 1433 H kemarin, setelah kesekian kali tangan ini meraih buku itu, hasrat untuk membacanya semakin kuat dan tak dapat dihindari.

Sungguh, “Slilit” yang diketengahkan oleh Cak Nun ini bukanlah isi keseluruhan dari buku itu, melainkan beberapa kumpulan tulisan kolom di beberapa surat kabar yang kemudian dibukukan. Pemilihan “Slilit Sang Kyai” menjadi judul dari buku tak lain tak bukan karena kenyentrikan tulisan tersebut bila dibanding di antara judul lain dalam buku itu. Dan karena nilai unik dan daya jual bila memakainya. Maka tak heran jika buku itu laris manis bak kacang goreng hingga cetak ulang berkali-kali. Buku yang ku baca ini saja merupakan cetakan yang kesekian.

Beberapa kolom yang ditulis oleh Cak Nun dalam buku itu mengkritisi kondisi sosial budaya masyarakat Indonesia, meskipun ditulis sekitar tahun 1980-an tulisan-tulisannya masih up to date dengan kondisi Indonesia di tahun 2000-an karena kondisi masyarakat tak banyak berubah. Sebagaimana telaahnya atas demokrasi Indonesia, “Kita katanya negara demokrasi yang menjunjung tinggi asas perbedaan sebagaimana negara Indonesia ini dibangun atas segala perbedaan, suku, etnis, bahasa, dan segala perbedaan lainnya. Tetapi, akhirnya kita mengalami kemunduran demokrasi, kotak-kotak demokrasi semakin terlihat jelas dan semakin tinggi sehingga antar satu sama lain adanya kecurigaan semata, sekat-sekat semakin tertanam dalam kehidupan berdemokrasi. Padahal, demokrasi seharusnya menjadikan sekat perbedaan itu hidup berdampingan dengan penuh kedewasaan. Sebagaimana siklus kehidupan manusia, dari anak kecil yang tak tahu apa-apa, menjadi remaja, dewasa, dan kembali lagi tua yang lupa akan segala yang telah kita tahu.”

Lalu, sindiran Cak Nun dengan nyiyirnya membuat kita tertohok dengan tajam “Kita tidak begitu saja ‘menagih’ janji Allah Swt. kalau kita sendiri belum membayar kewajiban-kewajiban kemakhlukan kita kepada-Nya.” Selama ini, kita hanya menuntut hak-hak kita sebagai makhluk agar selalu diperhatikan oleh Tuhan, terhindar dari masalah, setiap doa dikabulkan, tetapi melupakan dan pura-pura alpa dengan kewajiban yang seharusnya kita kerjakan sebagai makhluk. Meskipun sebenarnya Allah Swt. tetap Maha Segalanya andai kata seluruh manusia ingkar kepada-Nya.

Bagaimana tuntunan “moral berdoa”?? Kita tidak hanya layak begitu saja meminta kepada Tuhan tanpa sungguh-sungguh mematuhi kehendak-Nya terlebih dahulu, artinya mematuhi perintah dan menjauhi segala larangan-Nya. Allah Swt. Maha Menepati Janji, Jika Ia telah berjanji akan mengabulkan seluruh doa hamba-Nya maka tak akan diingkari barang sekecil dzarrah pun balasannya, lalu mengapa kita malah semakin menjauh dari amalan yang mendekatkan kita akan balasan dari janji Allah Swt. tersebut, sungguh kita telah terlena dan dilenakan oleh kenikmatan dunia yang selalu dibisikkan setan melalui lubang-lubang yang ada dalam tubuh kita. Naudzubillah min dzalik.

Cak Nun juga menulis tentang “kejantanan sosial”, mungkin gagasan ini merupakan sedikit sentilan kepada para laki-laki yang tidak memiliki kemampuan “kejantanan” yang dipenuhi oleh kejujuran, sportivitas, selalu berkaitan erat dengan kebenaran dan keadilan. Sehingga bukanlah lelaki yang mendiskriminasi perempuan itu adalah jantan, tetapi ialah yang benar-benar betina. Gerakan kejantanan tidak hanya merambah kepada laki-laki saja, tetapi hingga wanita pun perlu memiliki sikap “kejantanan” itu. Seorang pemimpin haruslah orang yang “jantan” tanpa memedulikan ia berkelamin laki-laki atau wanita.

Pada bagian lain dalam bukunya, Cak Nun menyoroti umat Islam yang sejak dulu terkelompok menjadi 3 kelompok besar. Pertama, yang dunianya hanya terbatas pada syariat ekslusif. Kedua, kelompok yang mulai menerjemahkan nilai Islam ke dalam sistem dan tatanan sosial, tetapi belum memiliki daya modifikasi yang kuat dalam menerapkannya sehingga hanya menemukan cara mencuat yang cenderung radikal. Ketiga, kelompok yang sudah mencobakan proses islamisasi terhadap watak lingkungan dan ritme perubahan.

Terlalu lama engkau berteriak, suaramu akan semakin habis dan serak serau hingga tak ada sekecil pun suara yang terdengar. “Biarkan ia berteriak sesuka hatinya, toh lama-lama juga akan bosan” seberapa lama dia kuat untuk terus berteriak?? Biarkan saja, toh kalau nggak mau dengerin tinggal sumpal telinga kita, gampang tho?? Kata penguasa. Mereka yang teriak tetap akan kehilangan suaranya dan kita tetap akan duduk di kursi ini, kursi yang kata kebanyakan orang “kursi panas” tetapi membuat nyaman pantat kita.

Dalam kolomnya yang lain, Cak Nun melihat fenomena kemajuan bangsa-bangsa karena tetap menjaga peradaban dan budayanya dari pengaruh luar, “Jika benar bahwa bangsa-bangsa memiliki bakat yang berbeda dan mereka mengembangkan peradabannya berdasarkan bakatnya itu maka alangkah indahnya dunia ini. Jepang dengan bakat mempertahankan tradisi tetap jaya meski fantastis dengan teknologi ciptaan mereka.” Lalu, apa bakat Indonesia agar peradabannya tetap jaya? Sebuah pertanyaan yang menggelitik dan harus dirumuskan oleh kita bersama jawabannya.

Sekali lagi “Slilit” yang kecil ternyata bisa membuat seorang kyai merasakan panasnya api neraka, maka berhati-hatilah terhadap “slilit-slilit” lainnya!!! Melalui kolom yang kata-kata dan daya imajinasi merupakan kekuatannya, terlihat bagaimana kecerdasan Cak Nun dalam mengolah kata sehingga tak terkesan dakwah searah, tetapi refleksi diri pribadi dan tidak ada rasa menggurui. (Jakarta, 10 September 2012) 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar