Sumber gambar: https://dreamindonesia.wordpress.com/2012/11/04/a-sampai-z-nama-nama-suku-bangsa-di-indonesia/
Sebuah sunnatullah bahwa manusia diciptakan oleh Allah Swt.
dalam kondisi berbangsa-bangsa dan bersuku-suku untuk saling mengenal satu sama
lain. Artinya, perbedaan sudah menjadi kodrat yang tidak bisa dipaksakan untuk
menjadi sama. Adapun kita sebagai manusia, tugas yang diberikan adalah untuk
mengenal satu sama lain, dalam arti untuk mengelola perbedaan itu. Jika perbedaan
dipaksakan untuk "sama" maka akan timbul satu pihak sebagai superior
dan pihak lain inferior yang akan berakhir dengan konflik. Saat perbedaan itu
tidak dikelola dengan baik maka konflik terjadi. Penyebab utamanya adalah
merasa paling benar sendiri dan orang lain yang tidak sama selalu dianggap
salah. Bukankah kebenaran yang hakiki datang dari Tuhan sedangkan kebenaran
dalam pandangan manusia hanyalah bersifat nisbi saja. Untuk itu, perlu sikap
dan kemampuan untuk menahan "ego" agar tidak memaksakan apa yang kita
yakini benar kepada orang lain.
Sebagaimana
halnya dengan peristiwa-peristiwa kekerasan dan konflik yang terjadi belakangan
ini di Indonesia, seperti kasus jamaah Ahmadiyah, konflik Syiah di Sampang,
kasus Gereja Yasmin Bogor. Banyak latar belakang yang berada dibalik peristiwa
dan konflik tersebut, mulai dari agama, ras, suku, perebutan lahan, dan
sebagainya. Dan, kecenderungan isu agama menjadi komoditi utama yang sangat
mudah menyulut timbulnya konflik kekerasan. Padahal, kalau kita telusuri bahwa
kita memiliki jaringan memori kolektif yang mempersatukan seluruh masyarakat
nusantara. Ingatan bahwa kita saling terkait satu sama lain sebagai sebuah
bangsa Indonesia akan mampu menangkal isu-isu perbedaan yang rentan menimbulkan
konflik.
Di
sisi lain, agama apa pun itu tidak mengajarkan umatnya untuk melakukan
kekerasan terhadap orang lain. Sebaliknya, agama mengajarkan cinta kasih dan
damai kepada umatnya. Perbedaan hendaknya disikapi sebagai fitrah yang
merupakan anugerah dari Tuhan. Jika hal itu disadari dan dipraktikkan oleh
seluruh umat maka kedamaian di Indonesia akan terjaga. Kerikil-kerikil yang
menghalangi jalan damai di Indonesia dapat tereliminir dengan sendirinya. Perlu
untuk diingat kembali bahwa perbedaan harus dikelola dengan baik, dan itu
merupakan keniscayaan sebagai tugas khalifah di muka bumi yang selalu
mengadakan perbaikan bukan perusakan di muka bumi dengan dalih atas nama agama.
Peran sebagai pengelola tidak saja dibebankan kepada pemerintah saja, tetapi
kita sendiri sebagai individu yang merupakan bagian dari masyarakat. Masyarakat
yang damai bukanlah angan-angan semu ketika perbedaan yang ada dikelola dengan
baik dan menjadi aset negara dalam menghadapi segala tantangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar